Asal-Usul Kampung Sadananya

Pada abad ke-16 dikisahkan ada Sang Maha Raja Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah alias Apun Dianjung seorang ulama yang mendapat kepercayaan kerajaan Islam di Cirebon. Beliau memiliki dua orang putra bernama Panji Boma dan Mangku Wijaya

Eulis Sri Rosyidatul Badriyyah - Pada abad ke-16 dikisahkan ada Sang Maha Raja Kawali bernama Pangeran Mahadikusumah alias Apun Dianjung seorang ulama yang mendapat kepercayaan kerajaan Islam di Cirebon. Beliau memiliki dua orang putra bernama Panji Boma dan Mangku Wijaya. Sebagai seorang raja, Sang Pangeran mempersiapkan sedemikian rupa anak-anaknya untuk menjadi pewaris tahta. Mereka jarang berkumpul di istana karena disibukan dengan berbagai ilmu lahir maupun batin yang dipelajarinya dari guru yang satu ke guru yang lain, bahkan sampai belajar di padepokan-padepokan ternama dimasanya, selain itu mereka berdua juga harus menguasai ilmu kerahayuan sejati sebagi bekal hidup dan tuntunan supaya menjadi raja yang bijaksana dikemudian hari.  Waktu bergulir tak terasa, usia mereka pun menginjak dewasa, sang ayah menilai bahwa mereka bisa diandalkan untuk memimpin kerajaan setelahnya, tapi sebelum kerajaan itu diwariskannya Panji Boma sebagai putra mahkota harus  menikahi seorang istri pilihan ayahnya. Siapakah perempuan pilihan itu? Ternyata bukan perempuan sembarangan, tapi dia seorang putri dari Keraton Galuh Pakuan Pajajaran yang telah masuk menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Soko Galuh Panjalu  yang bernama Nyi Putri Galuh atau Anjungsari.

“Ananda, Pergilah ke Keraton Galuh Pakuan, bawalah surat lamaran ini dan berikanlah kepada Raja serta Ratu Galuh!” Perintah Pangeran Mahadikusumah.

“Baiklah Ayahanda, Dengan senang hati Ananda menerima perintah ini” Jawabnya sambil membungkukan badan sebagai tanda penghormatan.


Dengan ilmunya Panji Boma tidak berjalan kaki atau naik kuda, melainkan terbang “Syuuuuuut” Menaiki kelopak bunga kelapa tempat berpijak kakinya. Sedangkan Mangku Wijaya, sang adik yang menemani perjalanan, dia mengecilkan badannya dan masuk ke kantung baju milik kakanya. Dari pandangan udaranya, Panji Boma melihat indahnya panorama alam yang dilewatinya, pohon yang rindang dengan daunya yang hijau mampu menyejukan setiap bola mata yang memandanginya, air terjun yang membuncah menelusuri tebing memercikan air yang membasahi tanah, pohon dan daun-daun yang ada didekatnya, kicauan merdu burung yang hinggap di pohon, menambah syahdu nyanyian alam. Hatinya tergerak untuk turun dan menikmati sejenak keindahan Tuhan tersebut. Cuaca begitu panas, Panji Boma pun berpikir untuk membasahi seluruh rambut dan kulit yang menempel dalam badannya, sedikit melepas lelah perjalanan sebelum bertemu dengan pujaan hati yang akan dilamarnya, agar ketika bertemu nanti badannya yang gagah dan atletis sudah segar serta parasnya yang rupawan semakin memancarkan cahaya kewibawaan.

“Adinda, ayo keluarlah dari kantung baju ku!” pinta Panji Boma

Mangku Wijaya yang lagi enak-enaknya menikmati perjalanan terkejut, “Sada aya nu nanya? (Seperti ada suara yang bertanya?)”. Maka dari perkataan itulah nama daerah ini diambil, yaitu daerah Sadananya (dalam bahasa Sunda, ‘sada’ yang berarti ‘suara dan nanya yang berarti bertanya’).

“Ya ini suara kakanda, cuaca begitu panas, kita istirahat dulu sambil menikmati indahnya pemandangan, turunlah dari saku bajuku!” pinta Panji Boma. Mangku Wijayapun keluar dari saku baju Panji Boma dan wujudnya kembali seperti semula berkat kesaktiannya.

“Pemandangannya memang indah kak, seindah bayangan sang putri yang menari-nari di dalam hati. Air nya pun sangat segar bagaikan embun pagi yang yang membasahi bumi” kata Mangku Wijaya berdecak kagum akan keindahan alam dihadapannya sambil menggoda kakaknya yang ingin terlihat gagah lagi rupawan pada pandangan pertamanya nanti dengan sang putri.

“Sini mandi dulu dik, airnya sangat jernih!” Panji Boma tiba-tiba berniat mandi dan mengajak adiknya.

“Perintah ayahanda kita harus segera menyerahkan surat lamaran ini!” Mangku Wijaya mengingatkan kakaknya.

“Benar tetapi kakak akan mandi sebentar agar sesampainya di sana badan menjadi lebih segar. Bagaimana kalau adik berangkat duluan?” Panji Boma meminta kesediaan adiknya berangkat terlebih dahulu dengan membawa surat lamaran.

“Baiklah tetapi kakak jangan berlama-lama di sini!” pesan Mangku Wijaya kepada Panji Boma. Mereka pun sepakat. Panji Boma mandi menyegarkan tubuhnya, sedangkan sang adik, Mangku Wijaya melanjutkan perjalanan. Dengan kesaktiannya, Mangku Wijayapun  akhirnya sampai di Keraton Galuh Pakuan.

“Bisakah saya bertemu dengan yang Mulia Paduka Raja dan Ratu Galuh? saya Mangku Wijaya putra kedua Pangeran Mahadikusumah dari Kawali” Mangku Wijaya meminta izin kepada penjaga Keraton yang bertugas di depan pintu masuk.

“Silakan duduk Tuan Muda, saya izin menemui Paduka Raja dan Ratu terlebih dahulu!” pinta sang penjaga.

“Baiklah dan terimakasih” jawab Mangku Wijaya.

Kehadiran pemuda tampan nan gagah putra kedua Pangeran Mahadikusumah itu diterima dengan baik dan ramah di ruangan khusus yang kursi dan mejanya terbuat dari kayu jati nan kuat untuk bisa di duduki oleh para tamu kehormatan Keraton Galuh, ukiran kursinya memancarkan kewibawaan dan kekuatan, lapisan emas di dinding aula memancarkan aura kesejahteraan akan rakyat yang dipimpinnya, sebagai tamu Mangku Wijaya dijamu dengan makanan dan minuman khas Keraton yang masyarakat awam jarang dan mungkin sulit untuk bisa mencicipinya.

Mangku Wijaya memberikan hormat kepada Raja dan Ratu Galuh dengan penuh kesopanan, santun dan jiwa rendah hati.

“Silakan duduk!” perintah sang Raja Galuh dengan mengangkat sedikit lengannya dengan telapak tangan terbuka.

“Terimakasih Baginda Raja, Hatur salam dan ampun yang Mulia, hamba diutus ayahanda Pangeran Mahadikusumah menyerahkan surat ini!” sambil berdiri menganggukan sedikit kepalanya kebawah dan tangannya sedikit lebih atas untuk memberikan surat lamaran yang dibawanya Mangku Wijaya menjawab, kemudian duduk setelah Raja dan Ratu duduk diatas singgasananya yang begitu gagah.

Raja dan Ratu Galuh pun membacanya dengan seksama agar tidak ada satu kata pun yang salah difahaminya. Raut muka mereka terlihat sangat sumringah lagi merekah tanda ada rasa sangat senang dan bahagia yang terpancar keluar dari wajahnya.

“Apakah Ananda tahu isi surat ini?” Raja kembali bertanya.

“Ampun Paduka yang Mulia, hamba hanya tahu itu surat lamaran yang harus kami berikan, selebihnya kami tidak mengetahui isi surat tersebut, kami tidak berani membuka apalagi membacanya” jawab Mangku Wijaya apa adanya.

“Baiklah,!” Ucap Sang Raja.

Selepas surat itu dibacanya, dipanggilnya anak kesayangan mereka yang bernama Anjungsari. Diceritakanlah isi surat yang telah orang tuanya baca.

“Bagaimana Pendapatmu putri kesayanganku?” tanya Sang Raja

“Anjung, Mengikuti pilihan ayahanda saja, yakin Ayah dan Ibu memberikan calon pendamping hidup yang terbaik bagi ananda” Jawab Nyi Galuh dengan yakin.

“Kalau begitu, jawablah surat lamaran itu oleh mu nak, kemudian ayah dan ibu tunggu kamu di aula tempat Mangku Wijaya duduk menunggu balasan darimu!” pinta ayahnya dengan bijaksana.

 Tidak lama kemudian, datanglah putri Nyi Galuh diiringi dayang-dayang memasuki aula pertemuan disalahsatu pojok bangunan Keraton yang luas dan berbenteng warna gelap, kemudian bersimpuh di depan Raja serta Ratu Galuh. Dari ujung matanya diam-diam Mangku Wijaya melirik paras cantik sang putri, hatinya mulai berdebar-debar tak karuan, tidak bisa dipungkiri dan dibohongi dia pun terpesona dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitupun Nyi Galuh diam-diam merasa senang dan dibuatnya tersipu malu karena bola mata Mangku Wijaya yang dirasa terus memperhatikan dirinya.

“Putriku, bagaimana sudah di siapkan surat balasannya?” ayahnya bertanya kepada Anjungsari.

“Sudah ayahanda” Jawabnya singkat.

 Surat balasan pun diterima oleh Mangku Wijaya, Ketika hendak pamit, kakanya Panji Boma datang ditemani pengawal Keraton Galuh memasuki ruangan yang sama, Mangku Wijaya pun merasa bersalah dan tidak enak hati, karena belum sempat menjelaskan kepada Baginda Raja kalau kakaknyalah yang akan Pangeran Mahadikusumah jodohkan dengan Putri Anjungsari.

“Hatur salam dan ampun Baginda Raja dan Ratu Galuh, sekali lagi hamba mohon ampun karena terlambat datang ke Keraton. Hamba Panji Boma, putra Pangeran Mahadikusumah kakaknya Mangku Wijaya”. Panji Boma membungkuk penuh hormat.

“Betul Baginda, beliau kakak saya yang akan dijodohkan ayahanda untuk putri Baginda, saya tadi diminta kakak untuk datang terlebih dahulu” Mangku Wijaya menjelaskan.

 “Owh begitu ya, kami kira (sambil menunjuk Mangku Wijaya) ananda yang akan dijodohkan dengan putriku Anjungsari?” Raja menimpali dan kembali dengan bijak bertanya kepada putrinya.

“Ananda Putri Anjung, coba lihat dan perhatikan Panji, kemudian tulislah balasan untuknya!” perintah ayahnya.

Anjungsari pun menulis balasan, hatinya tidak bisa dibohongi, jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya, tangannya gemetar, pikirnya penuh harap bisa berjodoh dengan Panji Boma yang kekar badannya dan sangat rupawan wajahnya, dia lupa kalau surat untuk Mangku Wijaya pun isinya sama, tapi rasa dan emosi yang meluap-luaplah yang membedakannya.

Niat Panji Boma meminang Nyi Putri Galuh sendiri pun berhasil, karena hati keduanya sudah terpaut bagaikan gelombang magnet yang saling menguatkan satu sama lainnya pada pandangan pertama keduanya. Namun kebahagiaannya tidak sebanding lurus dengan kenyataan, karena syaitan telah merasuki emosi Panji Boma yang mengakibatkan adiknya harus meninggal ditangannya. Hal itu terjadi, ketika Panji Boma mandi di Sadananya, ia menyuruh adiknya untuk berangkat terlebih dahulu. Alhasil Mangku Wijaya lebih dulu sampai di Galuh dan bertemu dengan Nyi Putri Galuh.

“Adik, kakak penasaran kenapa surat balasannya ada dua ya?” Panji Boma bertanya. “Ayo kita istirahat dulu sebentar untuk mengetahui apa isi surat balasan yang telah ditulis oleh putri Raja Galuh tersebut!” ajak kakaknya Mangku Wijaya.

“Baiklah kak” Mangku Wijaya menjawab dengan hati dan pikiran yang tidak menentu, seolah hal buruk akan menimpanya. “Surat balasan yang kakak dulu aja ya yang di buka” pinta adiknya.

“Janganlah, kan adik yang ditugasi oleh kakak untuk datang pertama kepada Keraton Galuh? Jadi surat yang ada ditangan adiklah yang akan kita buka dan baca bersama!” jelas Panji Boma.

Tangan Mangku Wijaya sedikit gemetar, mereka duduk berdampingan kemudian kertas berisi jawaban atas lamaran Pangeran Mahadikusumah untuk putra mahkotanya pun dibaca secara seksama. Kaget bukan main, wajah Panji Boma murka ketika mengetahui isi surat tersebut menyatakan bahwa Nyi Putri Galuh bersedia menikah dengan Mangku Wijaya, karena Panji Boma belum mengetahui cerita awalnya seperti apa, disini mulai terjadi kesalahfahaman, dan perkelahian diantara keduanya tidak bisa terelakan.

“Coba jelaskan kepadaku adik, kenapa surat balasan ini ditujukan kepadamu? Bukankah surat lamaran yang ditulis oleh ayah untuk Anjungsari itu untukku? apa kau mencoba mengkhianatiku ketika kakakmu memintamu untuk datang terlebih dahulu ke Keraton Galuh?” Panji Boma mencerca dengan banyak pertanyaan untuk adiknya.

“Aaaaaaakkh, bruuuk” dengan emosi Panji Boma memukul adiknya.

“Maaf kakanda……. (sambil mencoba menghindari berbagai pukulan dan tendangan sang kakak), tidak ada sedikitpun niatan diri ini mengkhianatimu, jujur diri ini terpesona dengan kecantikan anjungsari sampai lupa bahwa lamaran itu untukmu kanda, Mangku baru sadar setelah kakanda ada disamping Mangku, dan waktu begitu terasa cepat berlalu, sehingga anjungsari membalas surat lamaran ayahanda kepada Mangku dan juga kakanda” adiknya Panji Boma menjelaskan.

“Bedebah, kau bukan adiku lagi Mangku Wijaya!”, rasakan ini, siiiiit seeeeet, Mangku Wijaya terus mencoba menghindari amukan sang kakak yang sudah terberdaya syetan, diapun mencoba mempengaruhi pikiran kakaknya dengan ajian gelap ngampar, tapi ternyata tidak berhasil. Mangku Wijaya pun berlari dengan kekuatan petirnya, alih-alih semua itu sia-sia saja, karena kekuatan Panji Boma diatas adiknya. Mangku Wijaya pun terbunuh dalam perkelahian tersebut.

Api cemburu menghilangkan akal sehat, mengalahkan hati yang tidak pernah berdusta, tertutup sudah kebenaran dan ketenangan, yang ada hanyalah gelap mata yang diakhiri penyesalan. Panji Boma bingung dan merasa bersalah dengan apa yang terjadi, akhirnya dia pun mencoba menenangkan diri, sambil menengadahkan wajahnya ke langit, netranya berkaca-kaca, sembari menyesali perbuatannya itu.

“Mmmmhhhhhh, hahhhh, mmmmhhhh, haaahhhh” desah nya.

“Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Pemurah, ampuni khilaf dan dosa diri ini, Boma telah mendholimi diri Boma sendiri, sekali lagi ampuni Boma Ya Tuhan” Air matanya mengalir deras dipipinya yang lancip karena rahang besar yang sedikit menonjol pada wajah kesatria yang merasa berdosa, tidak bisa dibendung dan terus saja mengalir dari tempat yang tinggi ketempat yang lebih rendah, tidak hanya pipinya yang basah tapi tangan dan kain penutup kakinya pun ikut basah menahan tetesan air penyesalan membasuh luka yang begitu mendalam.

“Berikanlah Boma solusi atas apa yang terjadi wahai Tuhan Yang Maha Pemberi Petunjuk, lembutkanlah hati orang tua dan keluarga besar Boma, sehingga mereka dilapangkan dadanya dan dibesarkan jiwanya untuk memaafkan kesalahan dan kehilafan Boma saat ini, aamiin” dalam kehusyuan do`a Panji Boma berkata.

Panji Boma mulai berpikir, bagaimana caranya bisa menjelaskan ini semua kepada ayahandanya. Dibukanya surat jawaban dari anjungsari untuknya, dibacanya secara seksama, Panji Boma pun merasa Bahagia, karena ternyata Anjungsari pun menginginkannya, cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Cinta itulah yang menguatkan dia untuk berterus terang dan berkata jujur kepada keluarganya dengan peristiwa yang terjadi beberapa menit lalu.

Dengan lunglai Panji Boma berjalan untuk pulang dan menemui ayahnya tercinta Pangeran Mahadikusumah, sesampainya di Kawali Panji Boma pun menjelaskan apa yang terjadi, ayahnya yang bijak tanpa berkata langsung memeluk dan mendekap Panji penuh makna, Panji Boma pun tak berdaya menahan air mata yang kembali terjatuh dari dua bola matanya yang tajam dan hitam. Ia tak kuasa menahan nyeri di ulu hati dan lagi-lagi menyesali apa yang telah terjadi. Pangeran Mahadikusumah pun mengelus kepala sang putra mahkota dengan lembut, hatinya merasakan bahwa anaknya betul-betul menyesal “Percayalah putraku yang gagah dan rupawan, semua akan baik-baik saja. Selama ada cinta dalam Nurani dan masih ada harapan pada keyakinan, apapun masalahnya akan ada jalan keluar” Ayahnya menguatkan.

Walaupun hatinya merasa pedih dan kecewa terhadap Panji Boma, tapi sebagai ayah yang baik, Pangeran Mahadikusumah memaafkan kesalahan anaknya. Berita kematian Mangku Wijaya pun terdengar oleh keluarga Keraton Galuh Pakuan, sebab dianggapnya sebuah kecelakaan yang tidak ada unsur kesengajaan rencana pernikahan pun tetap dilaksanakan sampai akhirnya mereka menjadi suami istri dan Panji Boma melanjutkan kepemimpinan ayahnya di Kawali, kemudian meninggalkan kekuasaannya dan pergi melanglangbuana sampai akhirnya membangun Dayeuhluhur di Jawa Tengah dan meninggal disina.

Itulah cerita legenda asal usul kampung Sadananya. Wallohu `a lam

~ ~ ~


Berikan Komentar
Silakan tulis komentar dalam formulir berikut ini (Gunakan bahasa yang santun). Komentar akan ditampilkan setelah disetujui oleh Admin

LINK TERKAIT